Kamis, 31 Mei 2012

RAGAM NAMA ACEH

DI nusantara, mungkin hanyalah Aceh yang namanya sering digonta-ganti. Meski tak menghilangkan nama Aceh di dalamnya, perubahan tersebut terekam dalam zaman yang dilaluinya. Aceh terbentuk lewat sejarah yang panjang. Lebih dikenal lewat pergolakannya, mulai zaman Yunani kuno sampai masa kedatangan Belanda, berlanjut zaman kemerdekaan.

Perkarangan Masjid Baiturrahman
Perubahan nama Aceh lebih banyak terjadi ketika berada dalam negara Indonesia. mulai dari penobatan sebagai sebuah provinsi, peleburan ke Sumatera Utara, sampai pemberian status istimewa. Namun semua itu tak mampu meredam gejolak ke-Aceh-an orang Aceh dengan tipikal pemberontakan terhadap Jakarta.

Dalam konflik panjang dengan Indonesia, nama Aceh kembali diubah dengan undang-undang otonomi sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Gejolak tak juga reda, hingga bencana datang membawa perubahan dalam kesepakatan perdamain. Lagi-lagi Aceh berubah menjadi Pemerintahan Aceh.
Asal Usul Nama Aceh

Menurut H Muhammad Said (1972), sejak abad pertama Masehi, Aceh sudah menjadi jalur perdagangan internasional. Pelabuhan Aceh menjadi salah satu tempat singgah para pelintas. Malah ada di antara mereka yang kemudian menetap. Interaksi berbagai suku bangsa di sana kemudian membuat wajah Aceh semakin majemuk.

Thomas Braddel (H. Muhammad Said, 1972) memperkuat hal itu. Katanya, di zaman Yunani, orang-orang Eropa mendapat rempah-rempah Timur dari saudagar Iskandariah, Bandar Mesir terbesar di pantai Laut Tengah kala itu. Tetapi, rempah-rempah tersebut bukanlah asli Iskandariah, melainkan mereka peroleh dari orang Arab Saba. Orang-orang Arab Saba mengangkut rempah-rempah tersebut dari Barygaza atau dari pantai Malabar India dan dari pelabuhan-pelabuhan lainnya. Sebelum diangkut ke negeri mereka, rempah-rempah tersebut dikumpulkan di Pelabuhan Aceh.

Namun, Raden Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya Kesultanan Aceh (Terjemahan Teuku Hamid, 1982/1983) menyebutkan bahwa berita-berita tentang Aceh sebelum abad ke-16 Masehi dan mengenai asal-usul pembentukan Kerajaan Aceh sangat bersimpang-siur dan terpencar-pencar.

Sementara itu, HM. Zainuddin (1961) dalam bukunya Tarich Aceh dan Nusantara, menyebutkan bahwa bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu. Semua bangsa tersebut erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, India.

Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas. Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri, sementara orang Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau Rama Bari.

Rouffaer, salah seorang penulis sejarah, menyatakan kata al Ramni atau al Rami diduga merupakan lafal yang salah dari kata-kata Ramana. Setelah kedatangan orang portugis mereka lebih suka menyebut orang Aceh dengan Acehm. Sementara orang Arab menyebutnya Asji. Penulis-penulis Perancis menyebut nama Aceh dengan Acehm, Acin, Acheh ; orang-orang Inggris menyebutnya Atcheen, Acheen, Achin. Orang-orang Belanda menyebutnya Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh, dan Atjeh. Orang Aceh sendiri, kala itu menyebutnya Atjeh.

Informasi tentang asal-muasal nama Aceh memang banyak ragamnya. Dalam versi lain, asal-usul nama Aceh lebih banyak diceritakan dalam mythe, cerita-cerita lama, mirip dongeng. Di antaranya, dikisahkan zaman dahulu, sebuah kapal Gujarat (India) berlayar ke Aceh dan tiba di Sungai Tjidaih (baca: ceudaih yang bermakna cantik, kini disebut Krueng Aceh). Para anak buah kapal (ABK) itu pun kemudian naik ke darat menuju Kampung Pande. Namun, dalam perjalanan tiba-tiba mereka kehujanan dan berteduh di bawah sebuah pohon. Mereka memuji kerindangan pohon itu dengan sebutan, Aca, Aca, Aca, yang artinya indah, indah, indah. Menurut Hoesein Djajadiningrat, pohon itu bernama bak si aceh-aceh di Kampung Pande (dahulu), Meunasah Kandang. Dari kata Aca itulah lahir nama Aceh.

Dalam versi lain diceritakan tentang perjalanan Budha ke Indo China dan kepulauan Melayu. Ketika sang budiman itu sampai di perairan Aceh, ia melihat cahaya aneka warna di atas sebuah gunung. Ia pun berseru “Acchera Vaata Bho” (baca: Acaram Bata Bho, alangkah indahnya). Dari kata itulah lahir nama Aceh. Yang dimaksud dengan gunung cahaya tadi adalah ujung batu putih dekat Pasai.

Dalam cerita lain disebutkan, ada dua orang kakak beradik sedang mandi di sungai. Sang adik sedang hamil. Tiba-tiba hanyut sebuah rakit pohon pisang. Di atasnya tergeletak sesuatu yang bergerak-gerak. Kedua putri itu lalu berenang dan mengambilnya. Ternyata yang bergerak itu adalah seorang bayi. Sang kakak berkata pada adiknya “berikan ia padaku karena kamu sudah mengandung dan aku belum”.

Permintaan itu pun dikabulkan oleh sang adik. Sang kakak lalu membawa pulang bayi itu ke rumahnya. Dan, ia pun berdiam diri di atas balai-balai yang di bawahnya terdapat perapian (madeueng) selama 44 hari, layaknya orang yang baru melahirkan. Ketika bayi itu diturunkan dari rumah, seisi kampung menjadi heran dan mengatakan: adoe nyang mume, a nyang ceh (Maksudnya si adik yang hamil, tapi si kakak yang melahirkan).

Provinsi Aceh

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, di Aceh terbentuk gerakan perlawanan dengan menghimpun segala organisasi berbasis kekuatan rakyat, seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API). Mereka dilatih sebagai pasukan keamanan guna mengantisipasi pasukan Belanda yang akan masuk ke Aceh. Di samping itu, terdapat pula beberapa laskar rakyat seperti Laskar Mujahiddin.

Saat kesibukan dalam mengantisipasi pasukan Belanda, pada Desember 1945 sampai 1946 di Aceh terjadi pertentangan sesama anak bangsa, yang bernama Peristiwa Cumbok. Pada saat itu, Aceh berbentuk Keresidenan Aceh, Teuku Nyak Arief sebagai Residen. Karena Peristiwa Cumbok, beliau diasingkan ke Sadong (Aceh Tengah) dan meninggal di sana pada Mei 1946.

Pada 1 September 1947, Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Daerah Aceh, Kabupaten Langkat, dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor (Tit.).

Pada Juni 1948, Presiden Soekarno datang ke Aceh. Pada Agustus 1948, muncul gerakan pimpinan Sajid Ali Cs yang menentang Pemerintahan Aceh. Gerakan ini kemudian diantisipasi secara tegas oleh Pemerintah pada 3 November 1948.

Akhir Desember 1949, Keresidenan Aceh ditingkatkan menjadi provinsi. Pada 1950 Provinsi Aceh dileburkan kembali ke dalam Provinsi Sumatera Utara dengan status Keresidenan. Peleburan ini membuat pejuang Aceh kecewa. Pada saat yang bersamaan, menurut cerita ada sebuah dokumen rahasia yang disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo, berisi tentang rencana penangkapan 300 tokoh Aceh (Cornelis Van Dijk, 1983).

Pada 21 September 1953, Teungku Muhammad Daud Beureueh memproklamasikan Aceh Negara bagian dari Negara Islam Indonesia. Beragam reaksi pun muncul dan untuk menghadapi pemberontakan dan memulihkan perdamaian di Aceh, berbagai konsepsi ditawarkan. Pemerintah dalam konsepsinya, mengambil tindakan kekerasan dengan menggunakan senjata dan seluruh wilayah Aceh dinyatakan sebagai daerah militaire bijstand melalui Keppres Nomor 175 tahun 1953. Setelah Keppres itu keluar, empat batalion tentara dan 13 batalion Mobil Brigade (Mobrig) dikirim ke Aceh untuk melakukan pembersihan.

Dalam masa pembersihan, sekitar 2.000 sipil ditangkap atas instruksi Jaksa Agung. Menurut Staf Keamanan di Kutaraja kala itu, umumnya mereka merupakan tahanan saat melakukan pembersihan, sangat sedikit dari tawanan tersebut yang terlibat langsung dengan pemberontak DI/TII.

Pemerintah membentuk Staf Keamanan Sipil di Kutaraja pada 27 Oktober 1953 yang diketuai Bupati Aceh Besar, Abdul Wahab. Untuk menampung tahanan sipil ini, diadakan screening commisie, yang diadakan sampai ke daerah kewedanan, yang terdiri dari wakil-wakil pamong praja, kepolisian, kejaksaan, ketentaraan , dan Mobrig di Medan, yang dipimpin oleh Kepala Polisi, Darwin Karim. Sedangkan di Kutaraja dipimpin oleh Pembantu Inspektur Polisi, T. Hasan.

Di samping dengan patroli dan operasi militer, Pemerintah juga berusaha merangkul kalangan ulama yang tidak terlibat dalam pemberontakan DI/TII, seperti, Teungku Abdussalam Meuraxa, Teungku Makam, Tengku Hasan Krueng Kale, Teungku Saleh Meusejid Raya, dan Teungku Muda Wali. Mereka diminta untuk membujuk kalangan DI/TII menyerahkan diri.

Teungku Muda Wali sendiri membentuk Badan Keinsyafan Rakyat (BKR) yang bekerjasama dengan Perti (sebuah organisasi ulama tradisional yang dibentuk Muda Wali dan berpusat di Labuhan Haji; tidak terlibat dalam pemberontakan). BKR dan Perti membagi wilayah, yaitu Perti di Aceh Barat dan Aceh Selatan, BKR di Aceh Besar, Pidie, dan Aceh Utara.

Mereka menuntut disingkirkannya pembesar yang tidak sejalan dengan siasat dan tujuan mereka. Orang yang dinilai bermain mata dengan pemberontak langsung disingkirkan, antara lain A. Wahab (Bupati), Mayor Priyatna (Komandan Resimen), Sutikno (Hakim), dan Nyak Umar (Kepala Polisi/Koordinator). Mereka digantikan oleh T. Muhammad Bireun (Bupati), Teungku Abdussalam Meuraxa (Urusan Agama), T. Ali Keureukon (Urusan Adat), T. M. Ali Panglima Polem (Urusan Umum).

Operasi militer ini juga didukung oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang melakukan demonstrasi ke Kantor Gubernur Sumatera Utara di Medan. Mereka menuntut agar dibentuk gerakan Anti Teror Aceh (ATA) untuk menumpas pemberontakan DI/TII. Langkah ini diikuti Partai Nasional Indonesia (PNI) yang telah membentuk gabungan partai-partai dan organisasi-organisasi yang di namai Front Nasional (kemudian diubah menjadi Gabungan Partai dan Organisasi, GPO).

Banyaknya pejabat yang mengikuti Daud Beureueh, membuat sebagian besar jabatan pemerintahan kosong. Keadaan seperti itu dimanfaatkan PKI dan PNI untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak disenangi dan menggantikan dengan orang mereka. Dalam rencana ini, termasuk menyingkirkan T. M. Daudsyah, Residen Koordinator di Medan, yang dituding simpatisan DI/TII. Padahal Daudsyah sendiri mantan pengurus PNI.

Sementara Masyumi menginginkan penyelesaian DI/TII dilakukan secara politis melalui musyawarah (dialog). Konsep ini didukung sebagian besar masyarakat Aceh, antara lain Taman Pelajar Aceh Yogyakarta, Ikatan Pemuda Seulawah Bandung, Ikatan Pemuda Aceh Surakarta, dan Kongres Mahasiswa, Pemuda, Pelajar, dan Masyarakat Aceh se-Indonesia. Mereka mendesak pemerintah supaya menyelesaikan pertumpahan darah di Aceh dengan musyawarah. Reuni eks perwira Divisi Gajah I, mengirim surat kepada pemerintah agar berunding dengan pemberontak. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956, lahirlah Provinsi Aceh.

Pergolakan itu diakhiri dengan Ikrar Lamteh pada 1957, kemudian dilanjutkan dengan perundingan yang dipimpin Mr. Hardi pada Mei 1959. Hasilnya yang terkenal dengan Misi Hardi, Aceh diberi hak sebagai daerah istimewa di bidang agama dan menjalankan syariat Islam, pendidikan, serta adat-istiadat dengan Keputusan WKPM Missi Hardi Nomor 1/1959.

Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Setelah semua perundingan selesai, Provinsi Daerah Istimewa Aceh resmi terbentuk. Pada kenyataannya, tiga keistimewaan Aceh tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan leluasa, karena otonomi daerah di Indonesia mensyarakatkan kesamaan wilayah di seluruh Indonesia.

Pada 1 September 1954, Hasan Tiro mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri (PM) Indonesia, Ali Sastroamidjojo. Surat terbuka Hasan Tiro disiarkan beberapa surat kabar Amerika dan Indonesia terbitan Jakarta, seperti Abadi, Indonesia Raya, dan Keng Po. Dalam surat itu, Hasan Tiro mengatakan bahwa kabinet Ali Sastroamidjojo, telah menyeret bangsa Indonesia ke dalam lembah reruntuhan ekonomi, politik, perpecahan, dan perang saudara.

Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo meminta Hasan Tiro kembali ke Indonesia paling lambat 22 September 1954. Bila permintaan itu diabaikan, maka passport Hasan Tiro akan ditarik. Namun Hasan Tiro mengambil jalan lain dan tidak menghiraukan permintaan itu. Akhirnya paspornya pun dicabut dan ia ditahan pihak imigrasi Amerika di Ellis Island. Namun setelah membayar denda sebanyak US$ 500, Hasan Tiro dibebaskan.

Pada 1967, di Lhokseumawe ditemukan gas alam yang kemudian dikelola PT. Arun sejak 1971. Pada 4 Desember 1976, Hasan Tiro pulang ke Aceh memproklamasikan berdirinya Negara Aceh Merdeka (AM) di Gunung Halimun, Pidie. Untuk mengantisipasi pergolakan, Pemerintah memberlakukan operasi militer di tiga Kabupaten (Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur), pada 1989-1998. Operasi militer ini menimbulkan ekses yang luar biasa yang terungkap oleh beberapa pencari fakta, antara lain Komnas HAM dan DPR RI. Akhirnya, operasi militer resmi dicabut oleh Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto pada 7 Agustus 1998.

Lambannya penanganan ekses tersebut, melahirkan gejolak yang lebih besar dan luas. Kenyataan ini tergambar lewat perjuangan rakyat Aceh yang melakukan tuntutan referendum di halaman Mesjid Raya Baiturrahman, pada 8 November 1999 yang dimotori oleh Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA).
Supaya tidak meluas tuntutan referendum tersebut, kembali didatangkan pasukan ke Aceh. Namun semua strategi yang diterapkan di Aceh belum berhasil memadamkan pergolakan, termasuk dengan memberlakukan daerah otonomi khusus di Aceh.

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disetujui melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Taufik Almubarak [jumpung.blogspot.com] menyebutkan penyebutan nama Aceh dalam Nanggroe Aceh Daerussalam (NAD) seolah telah menjadi pengkaburan ke-Aceh-annya Aceh. Kata Aceh terjepit didalamnya. Dengan menyebut NAD, lama-lama orang bisa lupa akan nama Aceh.

Namun, otonomi khusus tersebut, ternyata tidak memadamkan pergolakan yang sudah berlangsung hampir 30 tahun waktu itu. Atas dasar itulah, Pemerintah menerapkan Darurat Militer melalui Keppres Nomor 28/2003, tanggal 18 Mei 2003. Dilanjutkan dengan Darurat Sipil melalui Keppres Nomor 43/2004, tanggal 18 Mei 2004. Tanggal 18 November 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memperpanjang status darurat sipil selama enam bulan, melalui Perpres Nomor 2/2004.

Pemerintah dan GAM melakukan lima tahapan perundingan di Helsinki (Finlandia), pada Januari-Juli 2005. Pada 15 Agustus 2005, Pemerintah dan GAM menandatangani Perjanjian Perdamaian di Helsinki (Finlandia). Salah latar belakang penting lahirnya perjanjian ini adalah bencana gempa berkekuatan 8,9 pada Skala Richter yang disusul gelombang tsunami pada Ahad, 26 Desember 2004.

Sebagai tindak lanjut dari perjanjian ini, Pemerintah menarik pasukan nonorganik dan GAM menyerahkan senjata untuk dihancurkan. Prosesi itu berlangsung dalam tiga tahap, yang berakhir 15 Desember 2005.

Pemerintahan Aceh

Agenda penting pascaperjanjian antara GAM dengan Pemerintah Indonesia melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan. Begitu Undang-undang Pemerintah Aceh (UU PA) disahkan, secara de jure penyebutan Aceh dikembalikan kepada Provinsi Aceh. Sementara pemerintahnya, disebut dengan Pemerintah Aceh.

UU PA, meski masih banyak kekurangan di sana-sini, tapi itulah produk hukum yang sah untuk Aceh sekarang sebagai provinsi yang memiliki kekhasan di banding provinsi lain di Indonesia. UU PA juga merupakan produk politik yang diperjuangkan bersama-sama. Karena itu, sudah sepatutnya UU tersebut digunakan, lebih-lebih pada penyebutan Aceh.[]

Oleh Iskandar Norman, Harian Aceh 6 Juni 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar