Legenda Pahit Rakyat dan Para Saudagar Aceh
Aceh,
seakan tak pernah henti menyusui Indonesia. Salah satu sumbangan yang
tak kalah penting adalah. Tampilnya Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh
yang menyumbangkan sekitar 35 kilogram emas murni untuk pembangunan
Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta. Tugu Monas, kini menjadi ikon
Kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Indonesia.
Lagi-lagi, Soekarno dengan
kelihaian rethorikanya, membujuk Teuku Markam untuk ikut dan berperan
serta dalam proyek prestise ini. Saat itu, setidaknya, Soekarno ingin
menunjukkan kepada dunia, Indonesia mampu sejajar dengan bangsa lain.
Kalau di Paris ada menara Efiel, di China ada tembok raksasa, di
Indonesia ada Monas. Begitulah Soekarno dengan segala sifat ambisiusnya.
Secara beruntun, kemudian lahir
perusahaan vital lainnya seperti PT. AFF, PT.ARUN. PT. PIM, PT. KKA
serta PT. Aromatic (Humpus Grup). Belum lagi, sumber daya alam seperti
kayu dan bahan tambang. Intinya, konstribusi Aceh bagi dana pembangunan
Indonesia, menjadi sisi lain dari sebuah perjalanan sejarah Indonesia.
Dan, sebutan Aceh sebagai Daerah Modal Perjuangan serta Pembangunan,
menjadi sahih adanya.
Dari hasil
minyak dan gas, Aceh tiap tahunnya menyetorkan Rp 10,6 triliun atau 43
persen dari total penerimaan negara untuk Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) Aceh tahun 1997/1998, Rp 328 miliar. Tragisnya, tahun 1998-1999,
malah turun jadi Rp 153 miliar.
Kekayaan alam Aceh, yang menjadi
pendapatan utama daerah tersebut adalah gas alam. Pusat pengolahan gas
alam cair (LNG) yang bahan bakunya dieksploitasi dari daratan dan lepas
pantai Aceh, diolah di Lhokseumawe, Aceh Utara. Produksi LNG
menghasilkan devisa yang besar, setidaknya memberikan sumbangan sebesar
30% dari total ekspor gas dan minyak Indonesia. Penambangan dan
pengolahan LNG dilakukan Exxon Mobil dan Pertamina.
Menariknya, saat Indonesia
mengalami krisis moneter tahun 1997-1999. Lagi-lagi, Aceh menunjukkan
kesetiaannya kepada republik Indonesia. Saat itu, Aceh dipimpin
Syamsuddin Mahmud, seorang pakar ekonomi dan mantan Rektor Unsyiah.
Melalui putri Soeharto, Siti Indriati Indra Rukmana atau Mbak Tutut. Pak
Syam, menyerahkan sekitar 20 kilogram emas serta puluhan lembaran dolar
Amerika Serikat bernilai 100 $ per lembarnya kepada Mbak Tutut.
Tujuannya, untuk menopang perekonomian negeri ini yang waktu itu sudah
terpuruk akibat dihantam krisis moneter atau krismon.
Pada awal masa kemerdekaan,
untuk menopang pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk, para saudagar
Aceh juga memeiliki peran vital. Mereka menerobos blokade ankatan laut
Belanda untuk menyeludupkan barang datgangan hingga ke Semenanjung
Malaysia. Ketika kontak dengan Jakarta tersedat, Residen Aceh
mengeluarkan mata uang sendiri. Tapi hak para saudagar Aceh itu pun
kemudian diabaikan.
Ironisnya, meski Soekarno
menyangjung habis Aceh sebagai daerah modal, karena telah mendanai
republik, para sudagar Aceh itu kemudian harus berjuang ke pengadilan
untuk menuntut haknya. Hutang mereka ditolak pembayarannya oleh
pemerintah.
Sebuah kisah perjudian nasib
dilakoni para saudagar Aceh. Untuk bisa menjual karet, getah dan
komoditas lainnya ke Malaysia dan singapura, para eksportir asal Aceh
mesti bertarung di lautan dengan angkatan laut Belanda di Selat Malaka.
Penjualan barang ke Malaysia dan
Singapura untuk mendanai republik tersebut, lebih tepatnya disebut
sebagai penyeludupan. Setiap saat kapal yang membawa barang ke negeri
jiran itu, harus mengelabui armada angkatan laut Belanda yang berpatroli
di Selat Malaka.
Salah satu yang sangat fenomenal
adalah usaha penyeludupan karet pengusaha asal Aceh oleh Jhon Lie,
warga Indonesia keturunan Cina asal Menado ini mendapat perintah dari
Menteri Pertahanan RI, Mr Ali Budiardjo untuk menjual kareta asal Aceh
ke Semenanjung Malaysia. Hasil penjualan karet milik saudagar Aceh itu
digunakan untuk membiayai perjalanan keliling dunia Menteri Luar Negeri
RI, H Agus Salim.
Beberapa
saudagar Aceh yang memainkan peranan dalam kontak datgang dengan negeri
jiran itu antara lain, Muhammad Saman dari PT Puspa, Nyak Neh dari
Lho’ Nga Co, Muhammad Hasan dari Perdagangan Indonesia Muda (PIM) dan
Abdul Gani dari Mutiara. Barang-barang seludupan saudagar Aceh tersebut
dikoordinir oleh Oesman Adamy dan diseludupakan oleh Jhon Lie. Sampai di
Semenanjung Malaysia barang-barang tersebut ditampung oleh pengusaha
asal Aceh, diantaranya Teuku Makam, Jaâfar Hanafiah, dan Ali Basyah
Tawi.
Dalam perniagaan tersebut, awalnya menggunakan alat tukar uang Republik Indonesia. Tapi karena faktor keamanan yang semakin memburuk, maka daerah keresidenan Aceh mengeluarkan mata uang sendiri. Saat dimasukkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1948 juga mengeluarkan uang kertas sendiri.
Untuk menopang perekonomian,
serta sebagai alat transaksi, selama tujuh hari saja, 2 sampai 8 Mei
1949, dicetak uang rupiah oripsui sebayak 156.750.000 yang terdiri atas
405.000 lembar Rupiah Oripsu 250, dan 111.000 lembar Rupiah Oripsu 500.
Adalah Abdul Muid, pegawai
keuangan yang bertanggungjawab atas percetakan dan pengedaran uang
oripsu tersebut. Selain itu ia juga bertugas mempertahankan nilai
banding uang oripsu dengan dolar Singapura.
Namun keseimbangan antara uang
Oripsu dengan Dolar Singapura tidak dapat dipertahankan. Akhirnya pada
16 Mei 1949, dikeluarkanlah ketetapan GSO nomor 302/RI tentang penetapan
penarikan uang Oripsu sebnayak 500.000.000. Kondisi ini semakin
diperparah dengan naiknya harga barang setiap hari. Berkurangnya impor
barang yang diperlukan. Akibatnya biaya hidup semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi hal itu,
pemerintah mengambil beberapa tindakan, diantaranya pembentukan suatu
badan penyehatan yang diketuai oleh M Nue El Ibrahimi. Tugas badan ini
mempertinggi produksi barang dalam negeri dan impor barang yang
dibutuhkan dari luar negeri.
Namun nasib para eksportir Aceh
yang menyokong pembiayaan republik tersebut akhirnya terpuruk, karena
pada 22 September 1949, Syarifuddin Prawira Negara mengeluarkan
Peraturan Wakil Perdana Menteri nomor 2/1949/WPM, yang isinya melarang
adanya aktivitas ekspor barang dari daerah Sumatera Utara.
Kondisi ini semakin diperparah
lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Wakil Perdana Mentreri tanggal 17
Oktober 1949 nomor 1/1949/WPM, yang mencabut ketetapan Komisaris
Pemerintah Pusat Sumatera, tanggal 14 Agustus 1948 nomor 7, yang
mengatur soal pengutipan bea ekspor dan perhitungan dolar untuk hasil
bumi.
Kebijaksanaan yang diambil oleh
Wakil Perdana Menteri tersebut bertentangan dengan kebijakan sebelumnya
yang diambil oleh pemerintah daerah soal ekspor impor barang dari dan ke
Semenanjung Malaysia.
Lebih ironis lagi, para saudagar
Aceh yang melakukan kontak dagang pengusaha di Semenanjung Malaysia,
setelah Indonesia benar-benar merdeka tidak memperoleh perlakuan yang
wajar dari pemerintah. Hutan getah yang masih harus diperoleh dari
pemerintah atas dasar perjanjian jual beli, ditolak pembayarannya.
Hanya Muhammad Saman yang
berhasil memperoleh haknya setelah menggugat pemerintah ke pengadilan.
Sementara Abdul Gani Mutiara, Nyak Neh, dan Muhammad Hasan tidak
memperoleh pembayaran hutang dari negara. Hak mereka atas perjanjian
jual beli ditolak pembayarannya. Untuk memperoleh haknya, para saudagar
itu pun menuntut pemerintah ke pengadilan, tapi gagal.
Pengadilan Negeri Jakarta Raya,
melalui putusan nomor 335/1952 g, tanggal 13 Juli 1965, menolak tuntutan
Nyak Neh dengan alasan gubernur mempunyai kedudukan istimewa, tidak
dapat dituntut ke muka hakim. Alasan lainnya, tuntutan tersebut akan
menjatuhkan wibawa gubernur selaku wakil pemerintah pusat di Aceh.
Nyak Neh kemudian melakukan
banding ke Pengadilan Tinggi, Jakarta, namun lagi-lagi kandas. Melalui
putusan nomor 212/1966 PT perdata tanggal 31 Oktober 1966, Pengadilan
Tinggi Jakarta dalam amar putusannya menolak upaya banding tersebut.
Namun Nyak Neh tidak berhenti
sampai disitu, ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namum
Mahkamah Agung dalam putusannya 5 Februari 1969 Reg No 10 K/Sip/1968,
menolak kasasi tersebut. Lagi-lagi pemerintah berkelit untuk membayar
hutangnya pada para saudagar Aceh.
Source from acehforum.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar