Hasilnya bisa kita lihat di
mana-mana: angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak
anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di
jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian
banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak
kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi
fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang
kehancuran. Suharto adalah dalang dari semua ini.
Tapi siapa sangka, walau sudah
banyak sekali buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekia dari dalam dan
luar negeri tentang betapa bobroknya kinerja pemerintahan di saat
Jenderal Suharto berkuasa selama lebih kuarng 32 tahun, dengan jutaan
fakta dan dokumen yang tak terbantahkan, namun nama Suharto masih saja
dianggap harum oleh sejumlah kalangan.
Bahkan ada yang begitu konyol
mengusulkan agar sosok yang oleh Bung Karno ini disebut sebagai Jenderal
itu diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional dan diberi gelar Guru
bangsa. Walau menggelikan, namun hal tersebut adalah fakta.
Sebab itu, tulisan ini berusaha
memaparkan apa adanya tentang Jenderal Suharto. Agar setidaknya, mereka
yang menganggap Suharto layak diberi gelar guru bangsa atau pun pahlawan
nasional, harus bisa bermuhasabah dan melakukan renungan yang lebih
dalam, sudah benarkah tindakan tersebut.
Fakta sejarah harus ditegakkan,
bersalah atau tidak seorang Suharto harus diputuskan lewat jalan hukum
yakni lewat jalur pengadilan. Adalah sangat gegabah menyerukan rakyat
ini agar memaafkan dosa-dosa seorang Suharto sebelum kita semua tahu apa
saja dosa-dosa Suharto karena dia memang belum pernah diseret ke muka
pengadilan.
Catatan atas kejahatan HAM rezim
Suharto akan dimulai dari wilayah paling barat negeri ini. Adalah Aceh,
Kejahatan HAM atas Muslim Aceh yang pertama kali diawali oleh VOC
Belanda, diteruskan oleh rezim Orde Lama Soekarno, dan ditindas lebih
kejam lagi di masa kekuasaan Suharto. Bahkan di zaman Jenderal
Suharto-lah, Aceh yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan RI—terutama dari segi finansial, sebab itu Aceh juga disebut
sebagai ‘Lumbung Uang RI’—malah dijadikan lapangan tembak dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM), 1989-1998.
Ialah Aceh, daerah yang sangat
kaya dengan sumber daya alamnya, yakni minyak dan gas bumi. Sampai
dengan akhir dasawarsa 1980-an, Aceh telah menyumbang lebih dari 30%
total produksi ekspor migas Indonesia. Pada 1971 di Aceh Utara ditemukan
cadangan gas alam cair (LNG) yang sangat besar.
Mobile Oil, perusahaan tambang
AS, diberi hak untuk mengekploitasinya dan dalam enam tahun kemudian
kompleks penyulingan KNG sudah beroperasi di dalam areal yang dinamakan
Zona Industri Lhokseumauwe (ZIL). Di tempat yang sama, berabad lalu, di
sinilah Kerajaan Islam pertama Samudera Pase berdiri, dan kini oleh
Suharto diserahkan kekayaan alam negeri ini yang sungguh besar kepada
AS.
Sebelumnya, di Aceh Timur, dalam
waktu 30 tahun sejak 1961, Asamera, suatu perusahaan minyak Kanada,
telah menggali tak kurang dari 450 sumur minyak. Sumber gas alam yang
ditemukan di sekitar sumur-sumur itu lebih kaya dari persediaan gas alam
di Aceh Utara. Produksi Pabrik Pupuk ASEAN di Aceh hampir 90 persen
diekspor, dan dari kompleks petrokimia diharapkan penjualan kimia
aromatik sebesar US$200 juta setahun.
Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA)
juga sudah mulai memproduksi kertas karung semen sejak 1989. Dari
penghematan impor pembungkus semen saja pemerintah sudah memperoleh laba
US$89 juta setahun, sedang ekspor kertas semen menghasilkan US$43 juta.
Pada 1983 Aceh menyumbang 11 persen dari seluruh ekspor Indonesia.
Suharto sangat tahu menahu jika
kekayaan alam Aceh sungguh luar biasa. Sebab itu, dengan amat rakus
rezim Orde Baru terus-menerus menguras kekayaan alam ini. Ironisnya,
nyaris semua keuntungan yang diperoleh dari eksploitasi kekayaan alam
Aceh ini dibawa kabur ke Jakarta. Rakyat Aceh tidak mendapatkan apa-apa.
Mereka tetap tinggal dalam kemiskinan dan kemelaratan. Pemerintah
Jakarta bukannya mengembalikan uang Aceh ke rakyat Aceh sebagai pemilik
yang sah, tapi malah mengirim ribuan tentara untuk memerangi rakyat Aceh
yang sudah tidak berdaya.
Dalam dasawarsa 1990-an, dari 27
provinsi di Indonesia, Aceh menempati posisi provinsi ke-7 termiskin di
seluruh Indonesia. Lebih dari 40 persen dari 5.643 desa di Aceh telah
jatuh ke bawah garis kemiskinan. Hanya 10 persen pedesaan Aceh menikmati
aliran listrik. Di kawasan ZIL hanya 20% penduduk yang mendapat saluran
air bersih. Yang lain mendapat pasok air dari sumur galian yang sering
tercemar oleh limbah zona industri.
Peneliti AS, Tim Kell, dalam
laporannya menulis, “Friksi dan perbenturan nilai pun terjadi antara
penduduk asli dan pendatang. Para migran menenggak bir, berdansa-dansi,
melambungkan harga-harga di pasar. Mereka hidup mewah di kolam
kemiskinan rakyat Aceh. Limbah industri mencemari tanah dan masuk ke
sumur-sumur penduduk asli. Polusi meluas ke laut, merusak lahan nelayan.
Pengangguran meningkat.
Pemiskinan berlanjut. Industrialisasi gagal merombak struktur
perekonomian rakyat Acehsecara fundamental, karena ia memang tak pernah
menjadi bagian dari perekonomian asli rakyat Aceh”. Inilah salah satu
“hasil” pembangunan rezim Suharto di Aceh.
Secara obyektif Tim Kell
melanjutkan, “Pada tahun-tahun 1940-an para ulama PUSA sudah kecewa atas
tak diterapkannya hukum Islam di seluruh Indonesia. Pada 1950, status
Aceh sebagai provinsi dicabut dan dilebur ke dalam Provinsi Sumatera
Utara. Pemerintahan sipil, pertahanan, dan perekonomian, diambil dari
ruang lingkup pengaruh PUSA. Kekecewaan atas perlakuan semacam ini, dan
kecemasan akan kehilangan identitasnya, mengantar Aceh ke pemberontakan
1953 di bawah pimpinan Daud Beureueh.”
Di bawah rezim Suharto, jenderal
ini membawa ideologi pembangunan dan stabilitas politik, dan dengan
kacamata kuda yang “sentralistik-Majapahit”, Suharto mengangap sama
semua orang, semua daerah, semua suku, semua organisasi, termasuk Aceh.
Suharto menganggap semuanya itu sama saja dengan “Majapahit”. Status
“istimewa” sebagai negeriIslam Aceh pun dihabisi.
Otonomi Aceh di bidang agama,
pendidikan, dan hukum adat, sebagaimana tercantum dalam UU No.5/1974
tentang Dasar-Dasar Pemerintahan Daerah, pada kenyataannya keistimewaan
Provinsi Aceh hanyalah di atas kertas. Gubernur dipilih hanya dengan
persetujuan Suharto, Bupati hanya bisa menjabat dengan restu Golkar.
Pelecehan Aceh terus berlanjut. Aceh bahkan dianggap tak cukup terhormat
untuk menjadi tuan rumah suatu Kodam. Komando Daerah Militer
dipindahkan ke Medan.
Pada 1990, Gubernur Ibrahim
Hasan yang notabene direstui Suharto mewajibkan semua murid sekolah
dasar Islam untuk mampu membaca Al-Qur’an. Peraturan ini dikecam oleh
para pejabat di Jakarta. Bahkan Depdikbud mengirim tim untuk menyelidiki
“penyelewengan” ini.
Beberapa bulan kemudian pejabat
Dikbud kabupaten melonggarkan peraturan yang melarang murid perempuan
memakai jilbab ke sekolah. Kepada murid yang ingin berjilbab diizinkan
untuk menyimpang dari peraturan tersebut. Pemerintah Jakarta bereaksi
keras atas pelonggaran ini. Peraturan nasional harus dipatuhi secara
nasional, tanpa kecuali. Dan jilbab diharamkan oleh rezim Suharto di
Aceh.
Ted Robert Gurr dalam "Why Men
Rebel" telah menulis bahwa orang akan berontak jika way of life-nya
terancam oleh perkembangan baru. Aceh telah kehilangan sumber alamnya,
mata pencariannya, gaya hidupnya. Orang Acehkehilangan suaminya,
anak-anaknya, kehilangan harapannya, kehilangan segalanya.
Lalu masih adakah orang yang sangat-sangat buta yang masih saja bertanya, “Mengapa rakyat Aceh berontak?”
Rakyat Aceh jelas telah dijadikan tumbal bagi rezim Orde Baru. Setelah
diperkosa habis-habisan oleh Jakarta. Siapa pun yang punya hati nurani
jelas akan mendukung sikap rakyat Aceh yang menarik kembali kesediaannya
bergabung dengan Republik Indonesia jika hal tersebut terus dibiarkan.
Bukankah Kesabaran itu ada batasnya??!!
[Media Islam Rujukan, eramuslim.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar