Ke Aceh, keraton! Sarang segala kejahatan
Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat
Dengan sang Tiga Warna Belanda "peradaban" tumbuh ..
BAIT di atas adalah petikan Lagu
Militer Belanda Aceh yang diciptakan P. Haagsma pada 1877. Dimaksudkan
untuk membakar semangat pasukan Belanda ketika datang ke Aceh dan
menumpas "para pemberontak", lagu itu terdengar megah membahana-tapi di
lapangan lain ceritanya. Pasukan Belanda sempat bingung menghadapi
perlawanan gerilya yang cuma mengandalkan senapan lantak, tombak, dan
kelewang.
Wilayah paling barat Hindia
Belanda ini memang baru belakangan dilirik. Itu pun akibat keinginan
gubernur jenderal memperluas kekuasaan di Pulau Andalas. Wartawan asal
Belanda, Paul van 't Veer, dalam bukunya Perang Aceh: Kisah Kegagalan
Snouck Hurgronje, mengungkapkan kekhawatiran Menteri Jajahan Belanda,
James Loudon, yang menulis surat kepada Gubernur Jenderal C.F. Pahud.
Loudon menulis, "Saya
menganggap setiap perluasan kekuasaan kita di Kepulauan Hindia sebagai
langkah menuju keruntuhan kita, dan lebih-lebih pula karena, dalam hal
ini, kekerasan itu telah tumbuh melampaui kesanggupan kita." Surat itu ditulis pada 8 Juni 1861.
Tapi Gubernur Jenderal ngotot
melancarkan petualangan ke Pulau Sumatera, sambil mencari peluang makin
mengisi kas negara. Di luar pengetahuan Gubernur Jenderal, kala itu,
Aceh, yang masih dikuasai sejumlah raja, telah lama memiliki kontak
dengan dunia luar. Pengaruh kesohoran Pelabuhan Malaka mengimbas pada
Aceh, yang menjadikan dirinya wilayah yang terbuka dengan dunia luar.
Mungkin banyak orang tak tahu,
perang di Aceh terjadi hingga empat kali. Perang pertama dimulai pada
1873, perang kedua pada 1874-1880, perang ketiga pada 1884-1896, dan
terakhir pada 1898-1942. Perang pertama dan kedua bisa dibilang gagal
total: Belanda tak menguasai peta dan realitas medan. Padahal, ketika
itu, mereka mengerahkan 5.000 prajurit dan pekerja paksa serta 118
perwira. Ada juga soal teknis yang kedengaran sepele tapi berakibat
fatal. Tentara Belanda ketika itu baru saja mengganti persenjataan.
Tadinya mereka menggunakan bedil
lama, yang pelurunya diisi dari depan, lalu diganti bedil baru,
Beaumont mereknya, yang pelurunya diisi dari belakang. Karena
penggantian senjata dilakukan dekat menjelang ekspedisi ke Aceh, para
prajurit kekurangan waktu berlatih. Kapal yang digunakan berlayar ke
ujung Pulau Sumatera itu pun tak semuanya jempolan. Banyak kapal berusia
lanjut, ketel uapnya bocor, terbatuk-batuk, toh dipaksakan mengarungi
Samudra Hindia.
Dengan kegagalan dua perang
menaklukkan Aceh, Belanda juga mencari strategi lain. Kebetulan, ketika
itu, seorang sarjana Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, sedang
melakukan penelitian di Pulau Jawa. Doktor teologi dan kesusastraan di
Universitas Leiden ini menulis disertasi tentang kesusastraan semitis.
Secara praktis ia ahli etnologi, sejarah agama, dan filologi. Ia pernah
tinggal enam bulan di Mekah. Pada 1889, ia ke Hindia Belanda untuk
mempelajari agama Islam. Ia segera direkrut menjadi penasihat pemerintah
untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam.
Pada Juni 1891, Snouck pergi ke
Aceh dan menetap beberapa bulan di sana. Snouck berpendapat, untuk
menghentikan perlawanan masyarakat Aceh, diperlukan kekuasaan yang
sangat unggul, yang sanggup memberikan hak, bahkan kewajiban, kepada
orang Aceh terhadap dirinya sendiri dan terhadap dunia Islam. Dengan
kata lain, Snouck menganjurkan-dan ini disetujui oleh Van Heutsz,
perwira militer yang kemudian menjadi gubernur jenderal pada
1904-1909-Aceh harus diperangi habis-habisan.
Laporan-laporan Snouck Hurgronje
membuat pasukan Van Heutsz lebih percaya diri. Mereka jadi tahu
seluk-beluk geografi setempat, adat istiadat masyarakat, serta soal
ajaran agama yang dianut oleh "raja-raja biadab" (ces princes sauvages)
tersebut. Pada 1898, kapal-kapal perang Belanda kembali membuka layar
menuju Pulau Sumatera. Sayang, rasa percaya diri yang tinggi dan
pengetahuan memadai tak cukup untuk menaklukkan Aceh.
Banyak korban jatuh di pihak
Belanda. Belum lagi kerugian ekonomi akibat perang. Selama setengah abad
bertarung dengan Aceh, lebih dari 100 ribu orang mati dan 500 juta
gulden terbuang percuma. Pers di Batavia pun turut mencibiri kegagalan
itu. Mengapa duet Van Heutsz-Snouck tak berjaya? Seorang mantan Gubernur
Aceh yang juga bekas opsir militer, C. Deykerhoff, pernah menulis
keraguan atas strategi yang dikembangkan Snouck.
"Andaikata
Dr. Snouck Hurgronje mengenal watak para gerilyawan... (yang) sangat
mengenal medan dan jarang sekali memberi kita kesempatan memukulnya," tulisnya, "Memukul
gerilyawan, sedapat mungkin dengan menghindarkan terlibatnya penduduk
walaupun ada di antaranya yang bersikap ragu-ragu, seperti yang
diinginkan oleh Dr. Snouck Hurgronje, adalah khayal belaka."
Paul van 't Veer mengungkap pula
nama R.A. Kern, pejabat penasihat untuk urusan bumi putra dan golongan
Arab, yang juga mengkritik kebijakan Snouck. Kern mengatakan, Snouck
keliru karena strateginya justru memperkukuh kekuasaan kaum uleebalang
untuk melawan kaum ulama fanatik. Snouck berpikir, dengan menguasai kaum
ulama, Belanda bisa menguasai Aceh-tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Namun Snouck tak selamanya
kalah. Dalam pertarungan di Tanah Gayo dan Alas, ia membuktikan bahwa
hasil studi ilmiahnya bisa dipakai untuk kepentingan militer Belanda.
Pada 8 Februari-23 Juli 1914, di bawah pimpinan Letkol G.C.E. van
Daalen, pasukan Belanda mencoba menaklukkan Tanah Gayo dan Alas. Untuk
ekspedisi ini, Gubernur Van Heutsz memilih sejumlah perwira dan brigade
terbaiknya.
Berkat studi Snouck, tentara
Belanda mendapat pengetahuan yang lebih dari cukup tentang kondisi
lembah dan gunung di sekitar Gayo. Pertempuran hebat terjadi dan banyak
jatuh korban dari kalangan orang Gayo. Sebanyak 2.902 orang tewas-1.159
di antaranya perempuan dan anak-anak. Belanda kehilangan 26 serdadu,
yang mati, dan 70-an terluka.
Kehebatan perang yang dilakukan
orang Aceh diakui oleh seorang wartawan Belanda yang juga pernah ikut
dalam dinas militer di Hindia Belanda, H.C. Zentgraaff. Pada usia 20
tahun, Zentgraaff masuk ketentaraan dan ditugasi ke Hindia Belanda. Ia
ikut dalam ekspedisi ke Jambi pada 1902 dan ke Bone pada 1905. Ia banyak
menulis di koran Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van den Dag,
dan Nieuwe Soerabaja Courant, dan sempat menjadi redaktur kepala Java
Bode.
Dalam bukunya, Zentgraaff
memberikan kesaksian, baik pria maupun wanita di Aceh berjuang dengan
gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan
nasional atau agama mereka. Zentgraaff menulis, "Tentara
kita tidak perlu merasa terkicuh oleh muslihat murah dan ejekan hambar
pihak lawan yang berkali-kali mengalahkan kita.... Kemenangan kita atas
bangsa yang gagah berani ini dengan mutu tempurnya yang gilang-gemilang,
yang tidak takut mati itu...."
Zentgraaff juga menulis bahwa "orang Aceh bukanlah orang yang tak tahu membalas budi."
Ia berkisah tentang Scheepens, orang Belanda komandan divisi dan
sekaligus kepala pemerintahan sipil di Aceh, yang dihormati orang-orang
Aceh. Dalam tugasnya sebagai kepala pemerintahan di Aceh, Scheepens
memimpin sidang meusapat, pengadilan lokal untuk memutus perkara
pemukulan yang dilakukan seorang rakyat Aceh terhadap seorang putra
uleebalang. Pasalnya, putra uleebalang ini mengganggu istri penggugat.
Dalam tradisi setempat, kalangan
ulama atau masyarakat sebenarnya pasrah jika seorang putra uleebalang
bertindak semaunya. Seraya berangkat ke meusapat, Scheepens berkata
kepada istrinya, "Tikus ini ada ekornya...."
Maksudnya, sang tertuduh, putra uleebalang, punya atribut lokal yang
membuatnya berstatus sosial lebih tinggi daripada penggugat. Tapi
Scheepens sudah punya putusan. Putra uleebalang tadi harus dihukum tiga
bulan penjara.
Sang uleebalang, yang hadir di
persidangan, tak menerima putusan itu. Segera ia mencabut rencongnya dan
menikam perut Scheepens. Pengunjung sidang marah dan mengeroyok sang
uleebalang. Scheepens sendiri berusaha menenangkan massa. Dan dalam masa
menanti ajalnya, Scheepens terus ditemani oleh orang-orang Aceh yang
setuju dengan sikap adilnya. Bayangan masyarakat Aceh macam ini mungkin
tak pernah mampir dalam benak Snouck Hurgronje. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar