Rabu, 06 Juni 2012

Perang Aceh: “Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje”

Ke Aceh, keraton! Sarang segala kejahatan 
Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk 
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat 
Dengan sang Tiga Warna Belanda "peradaban" tumbuh .. 

BAIT di atas adalah petikan Lagu Militer Belanda Aceh yang diciptakan P. Haagsma pada 1877. Dimaksudkan untuk membakar semangat pasukan Belanda ketika datang ke Aceh dan menumpas "para pemberontak", lagu itu terdengar megah membahana-tapi di lapangan lain ceritanya. Pasukan Belanda sempat bingung menghadapi perlawanan gerilya yang cuma mengandalkan senapan lantak, tombak, dan kelewang.

Wilayah paling barat Hindia Belanda ini memang baru belakangan dilirik. Itu pun akibat keinginan gubernur jenderal memperluas kekuasaan di Pulau Andalas. Wartawan asal Belanda, Paul van 't Veer, dalam bukunya Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje, mengungkapkan kekhawatiran Menteri Jajahan Belanda, James Loudon, yang menulis surat kepada Gubernur Jenderal C.F. Pahud. Loudon menulis, "Saya menganggap setiap perluasan kekuasaan kita di Kepulauan Hindia sebagai langkah menuju keruntuhan kita, dan lebih-lebih pula karena, dalam hal ini, kekerasan itu telah tumbuh melampaui kesanggupan kita." Surat itu ditulis pada 8 Juni 1861.

Tapi Gubernur Jenderal ngotot melancarkan petualangan ke Pulau Sumatera, sambil mencari peluang makin mengisi kas negara. Di luar pengetahuan Gubernur Jenderal, kala itu, Aceh, yang masih dikuasai sejumlah raja, telah lama memiliki kontak dengan dunia luar. Pengaruh kesohoran Pelabuhan Malaka mengimbas pada Aceh, yang menjadikan dirinya wilayah yang terbuka dengan dunia luar.

Mungkin banyak orang tak tahu, perang di Aceh terjadi hingga empat kali. Perang pertama dimulai pada 1873, perang kedua pada 1874-1880, perang ketiga pada 1884-1896, dan terakhir pada 1898-1942. Perang pertama dan kedua bisa dibilang gagal total: Belanda tak menguasai peta dan realitas medan. Padahal, ketika itu, mereka mengerahkan 5.000 prajurit dan pekerja paksa serta 118 perwira. Ada juga soal teknis yang kedengaran sepele tapi berakibat fatal. Tentara Belanda ketika itu baru saja mengganti persenjataan.

Tadinya mereka menggunakan bedil lama, yang pelurunya diisi dari depan, lalu diganti bedil baru, Beaumont mereknya, yang pelurunya diisi dari belakang. Karena penggantian senjata dilakukan dekat menjelang ekspedisi ke Aceh, para prajurit kekurangan waktu berlatih. Kapal yang digunakan berlayar ke ujung Pulau Sumatera itu pun tak semuanya jempolan. Banyak kapal berusia lanjut, ketel uapnya bocor, terbatuk-batuk, toh dipaksakan mengarungi Samudra Hindia.

Dengan kegagalan dua perang menaklukkan Aceh, Belanda juga mencari strategi lain. Kebetulan, ketika itu, seorang sarjana Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, sedang melakukan penelitian di Pulau Jawa. Doktor teologi dan kesusastraan di Universitas Leiden ini menulis disertasi tentang kesusastraan semitis. Secara praktis ia ahli etnologi, sejarah agama, dan filologi. Ia pernah tinggal enam bulan di Mekah. Pada 1889, ia ke Hindia Belanda untuk mempelajari agama Islam. Ia segera direkrut menjadi penasihat pemerintah untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam.

Pada Juni 1891, Snouck pergi ke Aceh dan menetap beberapa bulan di sana. Snouck berpendapat, untuk menghentikan perlawanan masyarakat Aceh, diperlukan kekuasaan yang sangat unggul, yang sanggup memberikan hak, bahkan kewajiban, kepada orang Aceh terhadap dirinya sendiri dan terhadap dunia Islam. Dengan kata lain, Snouck menganjurkan-dan ini disetujui oleh Van Heutsz, perwira militer yang kemudian menjadi gubernur jenderal pada 1904-1909-Aceh harus diperangi habis-habisan.

Laporan-laporan Snouck Hurgronje membuat pasukan Van Heutsz lebih percaya diri. Mereka jadi tahu seluk-beluk geografi setempat, adat istiadat masyarakat, serta soal ajaran agama yang dianut oleh "raja-raja biadab" (ces princes sauvages) tersebut. Pada 1898, kapal-kapal perang Belanda kembali membuka layar menuju Pulau Sumatera. Sayang, rasa percaya diri yang tinggi dan pengetahuan memadai tak cukup untuk menaklukkan Aceh.

Banyak korban jatuh di pihak Belanda. Belum lagi kerugian ekonomi akibat perang. Selama setengah abad bertarung dengan Aceh, lebih dari 100 ribu orang mati dan 500 juta gulden terbuang percuma. Pers di Batavia pun turut mencibiri kegagalan itu. Mengapa duet Van Heutsz-Snouck tak berjaya? Seorang mantan Gubernur Aceh yang juga bekas opsir militer, C. Deykerhoff, pernah menulis keraguan atas strategi yang dikembangkan Snouck.

"Andaikata Dr. Snouck Hurgronje mengenal watak para gerilyawan... (yang) sangat mengenal medan dan jarang sekali memberi kita kesempatan memukulnya," tulisnya, "Memukul gerilyawan, sedapat mungkin dengan menghindarkan terlibatnya penduduk walaupun ada di antaranya yang bersikap ragu-ragu, seperti yang diinginkan oleh Dr. Snouck Hurgronje, adalah khayal belaka."

Paul van 't Veer mengungkap pula nama R.A. Kern, pejabat penasihat untuk urusan bumi putra dan golongan Arab, yang juga mengkritik kebijakan Snouck. Kern mengatakan, Snouck keliru karena strateginya justru memperkukuh kekuasaan kaum uleebalang untuk melawan kaum ulama fanatik. Snouck berpikir, dengan menguasai kaum ulama, Belanda bisa menguasai Aceh-tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Namun Snouck tak selamanya kalah. Dalam pertarungan di Tanah Gayo dan Alas, ia membuktikan bahwa hasil studi ilmiahnya bisa dipakai untuk kepentingan militer Belanda. Pada 8 Februari-23 Juli 1914, di bawah pimpinan Letkol G.C.E. van Daalen, pasukan Belanda mencoba menaklukkan Tanah Gayo dan Alas. Untuk ekspedisi ini, Gubernur Van Heutsz memilih sejumlah perwira dan brigade terbaiknya.

Berkat studi Snouck, tentara Belanda mendapat pengetahuan yang lebih dari cukup tentang kondisi lembah dan gunung di sekitar Gayo. Pertempuran hebat terjadi dan banyak jatuh korban dari kalangan orang Gayo. Sebanyak 2.902 orang tewas-1.159 di antaranya perempuan dan anak-anak. Belanda kehilangan 26 serdadu, yang mati, dan 70-an terluka.

Kehebatan perang yang dilakukan orang Aceh diakui oleh seorang wartawan Belanda yang juga pernah ikut dalam dinas militer di Hindia Belanda, H.C. Zentgraaff. Pada usia 20 tahun, Zentgraaff masuk ketentaraan dan ditugasi ke Hindia Belanda. Ia ikut dalam ekspedisi ke Jambi pada 1902 dan ke Bone pada 1905. Ia banyak menulis di koran Java Bode, Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van den Dag, dan Nieuwe Soerabaja Courant, dan sempat menjadi redaktur kepala Java Bode.

Dalam bukunya, Zentgraaff memberikan kesaksian, baik pria maupun wanita di Aceh berjuang dengan gigih sekali untuk sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Zentgraaff menulis, "Tentara kita tidak perlu merasa terkicuh oleh muslihat murah dan ejekan hambar pihak lawan yang berkali-kali mengalahkan kita.... Kemenangan kita atas bangsa yang gagah berani ini dengan mutu tempurnya yang gilang-gemilang, yang tidak takut mati itu...."

Zentgraaff juga menulis bahwa "orang Aceh bukanlah orang yang tak tahu membalas budi." Ia berkisah tentang Scheepens, orang Belanda komandan divisi dan sekaligus kepala pemerintahan sipil di Aceh, yang dihormati orang-orang Aceh. Dalam tugasnya sebagai kepala pemerintahan di Aceh, Scheepens memimpin sidang meusapat, pengadilan lokal untuk memutus perkara pemukulan yang dilakukan seorang rakyat Aceh terhadap seorang putra uleebalang. Pasalnya, putra uleebalang ini mengganggu istri penggugat.

Dalam tradisi setempat, kalangan ulama atau masyarakat sebenarnya pasrah jika seorang putra uleebalang bertindak semaunya. Seraya berangkat ke meusapat, Scheepens berkata kepada istrinya, "Tikus ini ada ekornya...." Maksudnya, sang tertuduh, putra uleebalang, punya atribut lokal yang membuatnya berstatus sosial lebih tinggi daripada penggugat. Tapi Scheepens sudah punya putusan. Putra uleebalang tadi harus dihukum tiga bulan penjara.

Sang uleebalang, yang hadir di persidangan, tak menerima putusan itu. Segera ia mencabut rencongnya dan menikam perut Scheepens. Pengunjung sidang marah dan mengeroyok sang uleebalang. Scheepens sendiri berusaha menenangkan massa. Dan dalam masa menanti ajalnya, Scheepens terus ditemani oleh orang-orang Aceh yang setuju dengan sikap adilnya. Bayangan masyarakat Aceh macam ini mungkin tak pernah mampir dalam benak Snouck Hurgronje. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar