TURKI tidaklah
asing di telinga masyarakat Indonesia, khususnya Aceh pada saat ini.
Ikatan sejarah masa lalu yang telah mendarah daging khususnya bagi
masyarakat Aceh. Gerakan-gerakan pemuda Turki masa lalu juga telah
menjadi inspirasi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hubungan Aceh
dan Turki Usmani pada masa lalu sangatlah erat, hingga bisa dikatakan
seperti hubungan adik dan kakak.
Beberapa sumber baik yang
berasal dari hikayat-hikayat Aceh seperti Hikayat Aceh, Hikajat Soeltan
Atjeh Marhoem dan juga tulisan Nuruddin Ar-Raniry yakni
Bustanu’s-salatin menunjukkan bahwa Kerajaan Turki Usmani dahulu telah
membantu Kerajaan Aceh dalam memerangi bangsa Portugis.
Dalam Hikajat Soeltan
Atjeh Marhoem dikisahkan tentang kemurahan hati Sultan Kerajaan Turki
Usmani yang mengirimkan ahli-ahlinya untuk mengajarkan seni berperang,
membangun Kerajaan Aceh, juga menghadiahkan beberapa meriam sebagai alat
bantu perang yang terkenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Dinamakan
Meriam Lada Sicupak karena jauh dan rumitnya perjalanan dari daratan
Aceh ke Kerajaan Turki, yang mengakibatkan utusan Kerajaan Aceh tersesat
sampai memakan waktu tiga tahun untuk sampai di daratan Turki. Mereka
terpaksa menjual padi, beras, dan lada-hadiah untuk Raja Turki yang
masing-masing barang tersebut dimuat dalam tiga kapal layar-demi
bertahan hidup.
Rombongan
Aceh yang tiba di Istanbul dengan kapal bermuatan lada, komoditi paling
berharga zaman itu ditugaskan Sultan Alauddin mempersembahkan lada yang
dibawa kepada Sultan Sulaiman. Lada yang dibawa itu juga menjadi sumber
perbelanjaan selama rombongan itu di Istanbul menanti dibenarkan
menghadap Sultan Sulaiman yang sedang memimpin tenteranya di Hungary.
Akhirnya, Sultan Sulaiman mangkat pada 1566 dan jasadnya dibawa pulang
untuk dimakamkan di Masjid Sulaimaniye, Edirne.
Hanya tinggal Lada sebanyak setengah
bambu (Lada Sicupak) yang bisa dipersembahkan kepada Raja Turki Usmani.
Selain itu, pada De Hikajat Atjeh dikisahkan juga tentang kunjungan
utusan Kerajaan Turki ke Aceh untuk mencari obat bagi Raja Turki yang
sedang mengidap suatu penyakit. Setelah mendapatkan obat yang dicari,
maka pulanglah utusan tersebut dari Aceh dan dilaporkanlah kepada Sultan
Turki Usmani tentang kemegahan Kerajaan Aceh. Sultan pun mengatakan
pada wazirnya, “Pada masa lampau di Bumi atas kehendak Allah terdapat
dua Raja besar yaitu Nabi Sulaiman dan Raja Iskandar Zulkarnain, maka
pada zaman sekarang atas kehendak Allah terdapat dua raja yang amat
besar, kita di Barat dan Sri Sultan Perkasa `Alam Raja di Timur.”
Sayangnya, di dalam hikayat-hikayat
tersebut tidak didapatkan informasi secara jelas tentang raja yang
berkuasa di Turki dan di Aceh saat itu. Namun, berdasarkan sumber yang
lebih terpercaya sebagaimana ditulis oleh Muhammad Said dalam Aceh
Sepanjang Abad, pengiriman bantuan dari Turki ke Aceh terjadi ketika
Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar berkuasa di Aceh. Apabila kita
membaca sumber yang ditulis sejarawan asing, baik dari Turki ataupun
negara lain, disebutkan bahwa hubungan Kerajaan Aceh dan Turki telah
terjalin sepanjang abad ke-16 sampai awal abad ke-17.
Kerajaan Aceh menjalin hubungan dengan
Turki semenjak Turki Usmani berada di bawah kekuasaan Sultan Selim I,
kemudian berganti Sultan Sulaiman I, sampai masa Sultan Selim II, bahkan
berlanjut lagi pada abad ke-19 ketika kekuasaan di tangan Sultan
Abdulmejid II. Sumber Turki, Ismail Hakki Goksoy, menyebutkan, Sultan
Ala’uddin Ri’ayat Syah Al-Kahhar mengirim surat kepada Sultan Sulaiman
melalui duta besar Hussein bertanggal 7 Januari 1566 dengan tujuan
meminta bantuan militer untuk memerangi pasukan Portugis.
Namun, bantuan berupa ahli perang, kapal, meriam, tentara bersenjata lengkap tidak dapat segera dikirimkan dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi di Istanbul pada saat itu, termasuk juga peristiwa pengangkatan Sultan Selim II menggantikan Sultan Sulaiman yang mangkat.
Namun, bantuan berupa ahli perang, kapal, meriam, tentara bersenjata lengkap tidak dapat segera dikirimkan dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi di Istanbul pada saat itu, termasuk juga peristiwa pengangkatan Sultan Selim II menggantikan Sultan Sulaiman yang mangkat.
Istanbul Turki saat itu pernah dikenali
sebagai "Islambul" yang bermaksud Kota Islam yang dibelah dua oleh Selat
Bosphorus, memisahkan benua Asia dari Eropah. Menara masjid yang
kelihatan di mana saja di kota itu menggambarkan pengaruh Islam yang
kuat sepanjang 471 tahun era Uthmaniyah di Istanbul. Sejak 1453 hingga
1924 iaitu dari detik Muhammad Al-Fateh membuka kota Constantinople
hingga ke saat Mustafa Kamal Atarturk mengisytiharkan berakhirnya
institusi Khalifah Uthmaniyah di Turki, 1001 peristiwa tercatat di
lembaran sejarah Islam.
Keagungan
Sultan Sulaiman Al-Qanuni, pemimpin empire Uthmaniyah yang mewariskan
kemegahan Islam melalui perluasan jajahan takluk dan penyebaran agama
Islam, masih disebut hingga hari ini. Mungkin kejayaan itulah yang
menjadi inspirasi kepada Sultan Aceh, Sultan Alauddin Riayat Syah
Al-Qahhar, hingga merangsang beliau menghantar wakil diplomatik ke
Istanbul.
Saat itu, Ancaman Portugis di Nusantara para rombongan Aceh turut menceritakan hal itu kepada Sultan, maka baginda mengerahkan armadanya bersama meriam Turki, Ahli pembuat meriam dan senjata api pulang bersama rombongan Aceh. Pelabuhan Melaka bersejarah adalah kota rebutan di Selat Melaka yang menyaksikan kehadiran tiga kuasa Eropah sejak 1511 berpunca pada perdagangan rempah yang dikuasai pedagang Islam yang berulang alik antara dunia timur dan barat.
Saat itu, Ancaman Portugis di Nusantara para rombongan Aceh turut menceritakan hal itu kepada Sultan, maka baginda mengerahkan armadanya bersama meriam Turki, Ahli pembuat meriam dan senjata api pulang bersama rombongan Aceh. Pelabuhan Melaka bersejarah adalah kota rebutan di Selat Melaka yang menyaksikan kehadiran tiga kuasa Eropah sejak 1511 berpunca pada perdagangan rempah yang dikuasai pedagang Islam yang berulang alik antara dunia timur dan barat.
Makam Ulama Turki Salahuddin di Aceh ( Teungku Di Bitay) |
Selama keberadaannya di Aceh,
utusan yang dikirim dari Kerajaan Turki telah banyak memberikan
kontribusi dan pengaruh besar terhadap Kerajaan Aceh. Di samping
hubungan dagang antara dua kerajaan tersebut, Turki Usmani juga
mendirikan akademi militer di Kerajaan Aceh yang telah mencetak pemimpin
perang tangguh. Salah satunya Laksamana Keumalahayati. Keumalahayati
adalah seorang perempuan Aceh yang pernah memimpin berpuluh kapal
perang, yang di setiap kapal tersebut terdapat ratusan tentara. Di
samping itu, Goksoy juga menyebutkan dalam tulisannya tentang bendera
Kerajaan Aceh yang berlatar merah bersimbolkan bulan sabit dan bintang
putih dengan pedang di bawahnya.
Ini semua pengaruh dari Kerajaan Turki
Usmani. Hubungan antara dua kerajaan berlanjut lagi pada pertengahan
abad ke-19 ketika Belanda menjajah Aceh. Sultan Aceh meminta bantuan
kembali kepada Turki Usmani agar mengirimkan pasukan dan juga meminta
kerajaan Aceh agar ditegaskan sebagai bagian dari Turki Usmani.
Tujuannya agar Belanda tidak dapat menguasai tanah Aceh.
Namun, pada abad ini Turki Usmani telah mengalami kemunduran pesat karena kekuatan Eropa yang semakin kuat dan semakin berkuasa di tanah Turki. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan, walaupun Turki Usmani mengirimkan sejumlah utusannya ke Aceh. Sekalipun tidak berhasil mengusir penjajah dari Melaka, kesultanan Aceh memberi isyarat jelas kepada Portugis bahwa Aceh bukan negara sembarangan, dan kerajaan Islam terbesar di nusantara itu turut mempunyai sekutu dan sangat disegani di tanah Eropa.
Namun, pada abad ini Turki Usmani telah mengalami kemunduran pesat karena kekuatan Eropa yang semakin kuat dan semakin berkuasa di tanah Turki. Tidak banyak hal yang bisa mereka lakukan, walaupun Turki Usmani mengirimkan sejumlah utusannya ke Aceh. Sekalipun tidak berhasil mengusir penjajah dari Melaka, kesultanan Aceh memberi isyarat jelas kepada Portugis bahwa Aceh bukan negara sembarangan, dan kerajaan Islam terbesar di nusantara itu turut mempunyai sekutu dan sangat disegani di tanah Eropa.
Setelah sekian lama tidak berhubungan
dengan Aceh, Turki kembali mengirimkan bantuan kemanusiaannya setelah
bencana gempa dan tsunami terjadi pada akhir tahun 2004. Tidak hanya
berhenti pada saat itu, Turki terus melanjutkan bantuannya dengan
mendirikan Sekolah Fatih dan juga memberikan bantuan berupa beasiswa
bagi pemuda-pemudi Aceh yang ingin melanjutkan pendidikan S1, S2 dan S3
ke Turki. Setiap tahunnya sejak tahun 2007, jumlah masyarakat Aceh yang
menempuh studi di Turki semakin bertambah, khususnya pada tingkat
strata-1 dengan bidang ilmu yang bervariasi seperti teknik, kedokteran,
politik, komputer, hingga sejarah. Semoga saja persahabatan dua negara
muslim ini akan mengulangi kejayaan Islam seperti abad keemasan Islam
pada masa lalu.
Amin ya rabballa'lamin.
BalasHapus