Selasa, 29 Mei 2012

Sedikit tentang Museum Aceh

SEDIKIT TENTANG MESIUM ACEH
Oleh: T.A. Sakti
BAGl masyarakat umum (awam) di Banda Aceh dan sekitarnya, “Mesium Aceh” lebih dikenal dengan sebutan “Rumoh Aceh”. Asal mula dibangun Rumoh Aceh ini adalah di kota Semarang (Jawa Tengah) tahun 1914. Di Semarang masa itu pihak Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah komplek yang sangat luas, dimana di dalamnya hadir semua atribut budaya dari segenap daerah jajahan yang terdapat di Hindia Belanda. Komplek tersbut kira-kira menyerupai Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta sekarang. Tahun 1915  atas usul seorang ahli museum Belanda yang bernama Van Swart, Rumoh Aceh dipindahkan ke Kutaraja (Banda Aceh, sekarang). Mulanya ditempatkan di Blang Padang yaitu di arena MTQ Nasional XII. Ketika Pekan Kebudayaan Aceh ke II th-1972, dipindahkan ke lokasi sekarang. Dihadapannya mengalir sebuah sungai yang sangat bersejarah, namanya Krueng Daroy.
Dahulu sungai ini mengalir dalam komplek Istana Kerajaan. Tidak berapa jauh dari mesium (rumoh Aceh), terdapat sebuah bangunan indah peninggalan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Namanya Pinto Khop. Tempat bersalin tuan putri ketika mandi. Disinilah Puteri Pahang yang berasal dari Tanah Semenjung Melayu mandi-mandi bersama dayang-dayangnya yang cantik jelita. Sementara itu dari Pinto Khop kita dapat melihat sebuah bangunan lagi yang indah, namanya Gunongan. Dibangun Sultan Iskandar Muda sebagai cendera mata Sultan kepada Puteri Pahang, yang telah bersedia menetap di Aceh. Melihat kepada bentuk bangunan rasa-rasanya kita tidak percaya, bahwa bangunan itu telah berumur hampir 4 abad. Begitulah tingginya keahlian arstektur dimasa itu. Di saat-saat menjelang MTQ Nasional XII, kcdua bangunan bersejarah ini nampaknya semakin anggun, karena setiap saat ia bersolek diri. Beberapa tahun terakhir ini bangunan dalam komplek Rumoh Aceh telah bertambah banyak. Semua bangunannya, walaupun bentuk permanen namun semuanya bermotifkan ciri khas rumah Aceh. Bangunan itu ilah: Ruang Perpustakaan (bagian Selatan), Rumoh Aceh yang dibawa pulang dari Semarang, gedung tata usaha, Auditiriurn (aula) dan gedung pameran tetap. Memasuki komplek Rumoh Aceh, mulai dari pintu gerbang sebelah kanan, sebuah gong besar akan memikat perhatian kita. Dengan gong inilah Sultan Aceh memanggil rakyatnya datang ke istana, bila keperluan tertentu. Namanya Gong Cakra Donya, digantung megah dalam sebuah bangunan “mini” yang berukiran indah. Gong Cakra Donya berasal dari hadiah Maha Raja Tiongkok kepada Kerajaan Aceh Darussalam. Masa itu negeri Cina diperintah oleh seorang raja keturunan Jengis Khan. Diantarkan ke Aceh oleh Laksamana Cheng Ho, seorang ahli militer Tiongkok yang beragama Islam. Hampir setiap hari sejumlah wisatawan dalam dan luar negeri, mengabadikan diri bersama fotonya.
Maju sedikit lagi dari pintu gerbang, terdapat tanah perkuburan keluarga Sultan Aceh. Sultan Mahmud Syah dan Pocut Muhammad turut dimakamkan bersama anggota keluarga kerajaan lainnya. Menurut keterangan orang-orang tua, dimasa dulu, batu-batu nisan dari makam ini bersalutkan emas dan suasa. Dimasa pendudukan  Belanda, semua emas itu telah habis dicuri serdadu mereka. Untuk memudahkan usaha pencurian, mereka mebatu nisan, hingga beberapa diantaranya telah rusak sekarang. Bila saja kita telah berada di ruangan Gedung pameran tetap dari mesium Aceh, di dalam lemari kaca deretan pertama kita akan membaca sebuah terjemahan dari Hadih Maja Aceh yang berbunyi; Adat bak Po Teumeruhom Hukom bak Syiah Kuala. Kanun bak putroe Phang, reusam bak Lakseumana (Adat pada Sultan, hukum pada Ulama (Syeh Abdurrauf-Syiah Kuala). Undang undang tafsiran pada Putri Pahang, resam dunia pada Laksamana).
Pada lemari disampingnya, seonggokan sampah kerang makanan manusia purba berumur # 10.000 tahun sebelum Masehi. Dari benda purbakala ini memberi keterangan kepada kita, bahwa sejak masa 10.000 tahun yang lalu, daerah Aceh telah dihuni manusia. Kemudian kita akan menyaksikan barang-barang keemasan dari zaman Sultan Iskandar Tsani (suami Ratu Shafiatuddin). Perhiasaan emas ini digali pada makam Sultan Iskandar Tsani di komplek Gunongan.
Pada tingkat atas dari ruang pameran tetap mesium Aceh antara lain kita saksikan berbagai jenis mata uang asing yang beredar dan berlaku di Aceh dimasa kejayaannya. Mata uang itu terdiri dari uang logam Spanyol, Britisht North Borneo, East India Company, Strait Settlement, Sultanat Brunai dan uang logam VOC. Semua mata uang asing itu dibuat dari logam. Disini menunjukkan pasaran bursa dan bank-bank penukaran uang asing dengan kurs tertentu, telah lama berlaku di Aceh, walaupun masih dengan cara sederhana. Sedang mata uang Aceh sendiri terdiri dari 4 macam, yaitu Deureuham Aceh (emas), Deureuham Pase (emas) Keuh (perak, suasa) dan Kupang Trumon. Pemakaian emas sebagai mata uang (deureuham) merupakan uang emas pertama di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu kita akan melihat dua buah bendera di ruang ini. Yang satu adalah bendera (Alam) yang dipakai oleh pasukan Teuku Cut Ali dimasa pertempuran melawan Belanda tahun 1927. ‘Alam (bendera) ini dihiasi dengan berpuluh-puluh ayat Al Quran serta azimat-azimat. Satu lagi yaitu ‘Alam Aceh yang dasarnya merah, bulan yang didampingi oleh dua pedang di kiri kanannya. Sementara bagian atasnya tertulis dua kalimah syahadat -(Asyhadu alla Ila Haillallah Waasyha duanna Muhammadar Rasulullah). Kedua bendera ini dibawa pulang dari simpanannya di negeri Belanda oleh Brigjen T. Hamzah (almarhum) sewaktu memegang jabatan Pangdam I Iskandar Muda.
BENDA-BENDA SEJARAH LAINNYA
  1. Alat-alat senjata
Kemeurah (meriam Aceh), Bedil Teplep, Rincong Uleei mecunggek (Rencong berhulu bertingkat, siwaih (pedang yang bergagang emas, suasa), Pundok (sejenis keris penuh dengan ajimat dari Kitab Mujarabat), Kreh (keris yang gagangnya bertuliskan ayat Al Quran “Salamun Qaulam Mirrabbir rahim dan pada sarungnya tertulis (Allahu Akbar), dan berbagai jenis senjata lainnya termasuk dua buah meriam yang pernah digunakan untuk menyerang  Portugis di Melaka. Seorang ahli tembak dari Palembang bernama Shafaruddin mengelola meriam ini, demikian menurut tulisan Jawi terpahat pada meriam tersebut.
  1. HIASAN
Bohru pirak (diikat diujung bungkusan sirih), Gleung gaki dari emas atau perak, Gleung jaroe (gelang tangan), subang putroe (anting-anting ratu).
Euntuek (tali leher dari emas), Tangkulok Aceh (sejenis Kopiah), Kupiah Meukutop, Ceupeng, Boh Dobma dll.
  1. Perkakas dapur
-Jenis-jenis piring: Pingan Tapak Gajah, Pingan On Murong, Pingan Bateei.,
-Rangkan, Cinu, Salang, Aweuk, Guci, Tayeun, Raga Mata Puno, Bleut,
- Peuneurah (alat pemeras minyak kelapa), Situek, Jiei (niru), Cuprok Tanoh, Sangku dll.
  1.  Alat menangkap ikan.
Amak, Empet, Jeue, Reuleue, lny’ab, Bruek Keuteupong, Kawe, Plong, Ubeei, Mandrong, Beuriyeung dll.
VI.  Perlengkapan pengantin zaman dulu
VII. Alat penerangan (lampu) masa kerajaan Aceh.
-Penyot culot, Panyot Tanglong, Panyot Tanoh, yang terbuat dari tanah Panyot Dong 7 mata, Panyot Dong 5 mata. Kesemuanya terbuat dari tembaga dan minyak yang dipakai adalah minyak kelapa.
VIII. Sungguh banyak macam lainnya yang tak sanggup penulis ceritakan disini.
Bagi anda yang sempat berkunjung ke Banda Aceh, terutama dari para kontingen MTQ Nasional XII yang mewakili daerahnya, pasti puas dan kagum bila menyaksikan sendiri semua benda purbakala di Rumoh Aceh tersebut.
Menyambut para pengunjung MTQ Nasional XII Mesium Aceh diperlengkapi dengan kantin-kantin dan sebuah kamar telepon untuk dipakai bagi pengunjung yang membutuhkannya. Perlu pula dijelaskan, bahwa di Mesium Aceh juga terdapat seri film perang antara Aceh-Belanda, yang bila diputar kita akan dapat menyaksikan suatu peperangan sengit yang berlangsung selama setengah abad.

Aceh fokus, (smcalmdl;).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar