Cristian Snouck Hurgronje menulis banyak cerita tentang masyarakat Aceh dan adat istiadatnya. Ia menggambarkan orang Aceh gemar memelihara budak.
Buah pikiran Snouck tentang Aceh
itu terhimpun dalam De Atjèhers, yang dalam edisi Indonesia berjudul
Aceh di Mata Kolonial, terbitan Yayasan Soko Guru, Jakarta 1985. Dalam
terbitan lain, meski isinya sama, buku ini diberi judul Aceh; Rakyat dan
Adat Istiadatnya.
Snouck lahir pada 1857 di
Belanda, masuk ke Aceh ketika usianya 34 tahun. Sebelumnya, ia lebih
dahulu belajar di Mekkah, Arab Saudi, sejak 1884. Di sana, dia menggoda
hati ulama Arab dengan cara memeluk Islam.
Ketika di Aceh ia mengganti
namanya menjadi Abdul Ghaffar. Kefasihannya dalam berbicara tentang
Islam—malah konon sering berkhutbah di mesjid—membuatnya digelar oleh
rakyat Aceh sebagai Teungku Puteh; Teungku yang berkulit putih, sesuai
dengan warna kulitnya.
Pada 1889 Hugronyo gagal ke
Aceh. Baru dua tahun kemudian (tepatnya pada 9 Juli 1891), seperti
disebutkan wikipedia, ia berhasil, bahkan menetap di Kutaraja (kini
Banda Aceh). Di sana, ia menjadi orang “kepercayaan” Joannes Benedictus
van Heutsz, jenderal Aceh yang kemudian menjabat Gubernur Jenderal
Hindia Belanda (1904-1909).
Tujuh bulan ia berada di Aceh
dengan dibantu beberapa orang pelayannya. Dalam kurun itu, Snouck
mendekati ulama untuk bisa memberikan fatwa berdasarkan politik sivide
et impera, serta meneliti cara berpikir rakyat Aceh secara langsung. Dan
demi kepentingan keagamaan, ia berkhutbah untuk menjauhkan agama dan
politik.
Dalam De Atjèhers, ada cerita
menarik yang ditulis Snouck, seperti orang Mante yang tak mau makan,
orang Kleng yang dikenal sebagai ureueng dagang, budak Nias yang
mengawini anjing, Batak Karo yang keras kepala, dan budak Afrika yang
melupakan negeri asalnya.
Cerita Mante
Ketika Snouck di Aceh, banyak
beredar cerita mengenai Mante, yang tanpa dapat memberikan suatu
penjelasan. Kebanyakan kisah binatang mengingatkan Snouck pada kisah
yang pernah didengarnya tentang orang Dayak di Berneo (Kalimantan) pada
mulanya.
Ketahanan hidup (eksistensi)
mereka, sebut Snouck dalam De Atjèhers, mungkin sekali tetap, sesuai apa
yang diceritakan orang Kalimantan padanya. Namun mereka tampaknya
selalu tinggal di daerah yang jaraknya sehari perjalanan lebih jauh ke
pedalaman. Orang Mante ini diperkirakan tanpa busana dan tubuh mereka
berambut tebal. Dan dikabarkan orang Mante mendiami pegunungan di Mukim
XXII.
Sepasang suami-istri orang Mante
ini pernah tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh, yang terjadi
pada masa kakek mereka. Namun kemudian, mereka mati kelaparan karena
menolak untuk berbicara atau makan meskipun telah dibujuk dengan segala
upaya.
Menurut Hugronyo, dalam tulisan
tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan
serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah,
perkataan ini pula dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran
tinggi, di mana di mata mereka dianggap kurang beradab. Dalam arti yang
sama juga diterapkan orang daratan tinggi pada penduduk pantai barat
yang berdarah campuran.
Melayu dan Keling
Aneuk Jamee dijuluki untuk
penduduk pantai barat, karena kebanyakan mereka merupakan keturunan
asing atau tamu atau aneuk Rawa (orang asal daerah Rawa). Dan sebutan
ini masih ditambahi olok-olok meuiku (berekor). Maksud orang Rawa di
sini adalah ekor layang-layang di Aceh, yang oleh Snouck memberikan
catatan kalau sebutan ini berdasarkan sindiran pada arti appelatif
(penyebutan sesuatu berdasarakan penemu).
Orang-orang asing ini, dengan
atau tanpa ekor juga memberikan sumbangan mereka pada susunan suku Aceh.
Snouck tidak meragukannya. Ia mencontohkan pada sejumlah besar orang
Kling (Kleng, ureueng dagang) di Aceh dan di pantai timur yang
melahirkan lebih banyak keturunan campuran. Tulisnya, di Aceh Besar,
perkataan ureueng dagang (orang asing tanpa embel-embel) dianggap
menunjukkan orang Keling.
Akan tetapi, Snouck mengganggap
sumbangan semua orang asing itu—juga dari orang Arab, Mesir, Jawa dan
sebagainya—memang benar merupakan pengaruh kebetulan saja terhadap suku
Aceh; hanya di ibu kota dan di kota-kota pantai dari negeri-negeri
taklukan yang kecil.
Budak Nias
Budak belian yang kebanyakan
berasal dari Nias (Nieh), merupakan faktor penting dalam perkembangan
suku Aceh. Asal usul orang Nias ini tergolong aneh. Saat bersamaan, di
Aceh juga beredar kisah yang terdapat di kalangan orang Jawa tentang
asal usul orang Kalang.
Diceritakan Snouck, seorang
putri yang menderita penyakit kulit dan mengerikan, dibuang ke Pulau
Nieh. Selama masa pembuangan, putri itu hanya ditemani seekor anjing. Di
pulau itu ia menemukan banyak tanaman peundang dan berangsur-angsur
mulai mengenal khasiat penyembuhan dari akar peundang. Anehnya, putri
itu kemudian menikahi anjing tersebut.
Snouck memberi catatan dalam
bukunya, bahwa menurut kisah orang Jawa, putri itu ketika menenun
menjatuhkan pintalannya. Kemudian karena enggan berdiri, ia bersumpah,
bahwa siapa yang dapat mengambil pintalan itu akan menjadi suaminya.
Anjing tadi cepat-cepat mengambil pintalan tersebut dan kemudian
menuntut haknya pada sang putri. Maka menikahlah putri itu dengan anjing
tersebut.
Dan dikabarkan, perkawinan itu
menghasilkan seorang putra. Ketika putra itu dewasa, ia ingin menikah.
Akan tetapi, pulau Nias saat itu tiada penduduk selain ibunya. Lalu si
ibu memberi cincin yang akan menunjukkan jalan bagi putranya; jika
bertemu dengan wanita yang cocok dengan cincin itu, maka itulah
istrinya. Anak itu kemudian megembara ke seluruh pulau tanpa bertemu
dengan seorang wanita pun. Pada akhirnya ia bertemu kembali dengan
ibunya yang cincinnya cocok di jari ibunya. Mereka kemudian menikah.
Dari perkawinan terlarang itulah, seluruh penduduk Nias berasal.
Tentang muasal orang Nias yang
hina itu tidak ditemukan ciri khas seperti yang diceritakan di Jawa
mengenai orang Kalang; perkawinan dengan anjing dan perkawinan terlarang
mempunyai persamaan. Akan tetapi mengenai orang Kalang dikisahkan,
bahwa induk mereka berasal dari hewan yang paling kotor diantara semua
hewan, yakni babi.
Menurut legenda, putri yang
hidup di rimba dilahirkan oleh babi hutan yang mengandung secara aneh.
Diceritakan, Ratu Baka meminum air kelapa ketika beristirahat di
sela-sela berburu, lalu ia kencing dalam tempurung. Kemudian babi hutan
betina menemukan tempurung itu dan meminum isinya. Karena isi tempurung
itu bukan air kencing saja—sebab usai kencing, Ratu Baka mempunyai nafsu
berahi—lahirlah putri tadi.
Berdasarkan kisah geneologis,
dalam silsilah orang Nias tidak memiliki babi. Tetapi dalam percakapan
sehari-hari, mereka tetap dikatakan keturunan anjing dan babi. Bahkan
ada sajak (hadih maja) yang mengejek orang Nias atau keturunan campuran
Nias yang bunyinya, “Nieh kumudee; uroe bee buy, malam bee asee.”
Artinya, “Orang Nias yang makan buah mengkudu; bau seperti babi di siang
hari, seperti bau anjing di malam hari.”
Snouck juga membubuhi catatan,
bahwa buah mengkudu dimakan orang Aceh sesudah dibuat rujak
(cinicah/lincah) atau direbus dengan sari aren dan gula. Orang Nias suka
memakannya mentah-mentah. Sehingga tak jarang orang Aceh katakan, “Nieh
kumudee, biek hana malee” yang artinya “Orang Nias penggemar mengkudu,
orang yang tak pernah malu”.
Meskipun semua kisah dan
ungkapan demikian beredar dan orang Nias banyak menderita kurap
(penyakit kulit), masyarakat Aceh sangat menyenangi mereka sebagai
budak. Karena mereka dianggap penurut, suka belajar, rajin dan dapat
dipercaya. Wanitanya cantik seolah-olah melebihi wanita Aceh sendiri.
Sedang pemudanya menjadi penari seudati.
Dalam adat Aceh, keturunan dari
garis ibu sangat penting. Musabab itu, orang enggan sekali untuk
mendapat keturunan dengan budak wanita, meskipun hal ini dibolehkan
dalam Islam. Snouck menulis, pergaulan antar majikan dan budak wanita
sangat terbatas bila dibandingkan dengan keadaan di negeri islam lain.
Kalaupun sampai terjadi hubungan seperti itu, segala jalan akan ditempuh
untuk mencegah atau menghilangkan akibatnya yang biasa. Walau begitu,
masih terdapat saja anak yang lahir dari hubungan semacam pergundikan
tadi.
Namun demikian, kata Snouck,
masih ada jalan lain untuk menyalurkan lebih banyak darah Nias ke dalam
tubuh orang Aceh. Dia mencontohkan pada pria yang lama tinggal di suatu
daerah tertentu tak jarang menikah dengan salah seorang budak temannya
atau pemberi anugerah. Bahkan sering terjadi orang Aceh menikah dengan
budak di daerah tempat tinggalnya sendiri atau daerah yang berdekatan,
maka ia berani menghadapi umpatan dan kebencian keluarga terdekatanya
demi kecantikan wanita pilihannya itu.
Batak di Aceh
Menurut Snouck jumlah budak dari
suku bangsa lain di Aceh sangat kecil bila dibandingkan dengan orang
Nias. Memang di sana-sini orang Aceh pernah mengambil pria Batak sebagai
budak (jarang sekali wanitanya), tetapi sifat mereka umumnya dianggap
tidak baik, berbeda dengan Nias yang dipuji. Dia menulis, orang Batak
dikatakan sebagai pembangkang, malas dan menaruh dendam yang tidak dapat
dilupakan dan dimaafkan.
Hal ini dapat dilihat dari
pengalaman atau kisah orang lain, seperti, bagaimana budak asal Batak
secara licik membunuh majikannya hanya karena deraan kecil. Atau
bagaimana seorang Batak sesudah menerima perlakuan baik, melarikan diri
setelah terlebih dahulu membunuh anak-anak majikannya.
Snouck memberi catatan, banyak
dari orang Batak itu didatangkan dari Singkil dan Trumon. Orang Aceh
membedakan Batak Karee (Karau/Karo) sebagai yang paling liar dan nakal
dibanding Batak lain seperti Batak Pakpak, Batak Tuba (Toba), dan Batak
Maloylieng (Mandailing). Anehnya, orang Aceh menjuluki semua jenis orang
Batak dengan nama Batak Karee tadi, gara-gara watak mereka yang nakal
dan liar.
Budak Abeusi
Tidak banyak orang terkemuka
yang mampu menikmati kemewahan dengan mengimpor budak wanita Cina dan
Semenanjung Malaka, tulis Snouck dan menjadikan mereka gundik. Ia
mengatakan kalau orang Aceh lebih sering membawa budak dari Mekah
sesudah melakukan ibadah haji, baik pria maupun wanita.
Untuk budak-budak yang dibawa
dari Afrika, orang Aceh menyebut Abeusi kepada orang Abesinia dan
Ethiopia. Orang-orang Afrika ini kalau sudah diperbudak orang Aceh,
mereka tak peduli lagi pada negeri asal. Memiliki orang Abeusi sebagai
pembantu rumah tangga menjadi kebanggan tersendiri bagi majikan Aceh.
Lagi-lagi Snouck memberi catatan
dalam hal ini. Disebutkannya, bahwa saat itu di Ulee Lheue (Olehleh)
masih ada budak Sirkassia yang dibebaskan, yang waktu itu milik Habib
Abdurrahman (seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil
pemerintahan Aceh dan kemudian “dibeli” Belanda dan dikirim ke Mekkah),
yang juga mengimpor budak India ke Aceh. Namun hal ini sangat jarang
terjadi.
Hukum Perbudakan di Aceh
Menurut Snouck hukum perbudakan
di Aceh juga mengalami penyimpangan dari hukum Islam. Memang, wajar dan
umum bila pemilik budak segera melakukan kekerasan terhadap budak wanita
mereka. Hal sama terjadi di Arab, pantangan berkala terhadap budak
wanita yang baru dibeli, jarang atau tidak pernah diindahkan.
Namun di Aceh, sebut dia, hal
itu dilanggar orang tanpa rasa malu. Dan kebanyakan dari mereka sama
sekali tak menyadari bahwa mereka justru melanggar hukum yang sama yang
mereka hormati, yang menyatakan mereka telah melakukan tindakan
penculikan.
Di Dataran Tinggi (Tunong),
tulis Snouck, budak jauh lebih sedikit dari pada di Dataran Rendah
(Baroh), seperti lebih sedikit hal-hal yang membuat hidup lebih enak dan
menyenangkan. Lalu oleh dia menegaskan, petunjuk cukup banyak, suku
manakah yang di masa lalu memberikan sumbangan ke arah peningkatan atau
penurunan mutu rakyat Aceh. Terlepas dari itu, sebaiknya memandang suku
ini sebagai suatu kesatuan, karena setiap pendapat mengenai hal yang
sama akan dianggap prematur.
Orang Dataran Tinggi dan Rendah
Snouck menyebutkan, orang Aceh
yang berasal dari berbagai bagian Aceh Besar, satu sama lain dapat
dibedakan dari sejumlah besar ciri khas setempat tentang bahasa, adat,
ketakhayulan, busana dan sebagainya.
Perbedaan itu antara lain,
perbedaan antara penghuni Datarang Tinggi (Ureueng Tenong), terutama
yang berasal dari sagi Mukim XXII dan penduduk Dataran Rendah (Ureueng
Baroh), yakni penduduk dari sebagian besar kedua sagi yang berbeda
(Mukim XXVI dan XXV) termasuk ibukotanya. Beberapa bagian dari kedua
sagi itu hampir memiliki bahasa dan adat yang sama dengan Ureueng
Tunong, seperti Ureueng Bueng yang tinggal di Mukim Bueng VII2 dalam
sagi Mukim XXVI.
***
Penulis Makmur Dimila, Harian-Aceh.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar